UINSA dan Peraktek Budaya Bisu
UINSA dan Praktik Budaya Bisu
Berbicara
Universitas Negeri Sunan ampel Surabaya (UINSA), bukan lagi berbicara persoalan
tempat ngopi dimana yang enak dan dan wi-Fi yang cepat, akan tetapi banayak
persoalan serius yang antri untuk segera diselesaikan. Diantara persoalan yang
masih empuk untuk dibicarakan hari ini adalah praktek budaya bisu terhadap
Mahasiswa.
Dalam salah
satu terminologi bahasa Indonesia, bisu adalah salah satu penyakit fisik.
Efeknya Membuat kita menjadi diam. Menahan kita untuk berargumentasi.
Mengkerangkeng mulut kita untuk berucap.
Kurang lebih seperti itulah
gambarannya. Namun di sini kita tak membicarakan bisu dalam pengertian
tersebut. Yang kita perbincangkan ialah bisu dalam pengertian penyakit sosial.
yakni kebisuan yang mana Manusia yang terinjeksi akan bersikap diam terhadap
masalah sosial. Acuh tak acuh pada tatanan sosial yang timpang. Tak mau
bertanya dan protes terhadap penindasan yang ada. Sikap seperti itu sangat
berbahaya, karena hanya melanggengkan status
quo, dan penindas semakin bebas bertindak demi kepentingannya. Penyakit
sosial yang satu ini sudah menyebar kemana-mana bagaikan virus yang membunuh
sikap kritis masyarakat. Bahkan penyakit tersebut sudah membudaya dalam
masyarakat, paulo Freire menyebutnya sebagai kebudayaan bisu.
budaya bisu
adalah sesuatu yang tercipta oleh tangan manusia, dengan melalui hasil hubungan
struktural antara yang mendominasi dan yang didominasi. Dari hubungan tersebut,
yang mendominasi memberi pengaruh
terhadap masyarakat yang didominasi untuk menjadi bisu. kadang instrumen yang
dipergunakannya ialah aparatur negara. Biasanya dalam bentuk yang halus maupun
kasar. Dalam bentuknya yang halus, masyarakat dibuat bisu dengan cara
memanipulasi kesadaran masyarakat lewat persuasi dan tindak hegemoni untuk
mematikan potensi kritis masyarakat. Biasanya melalui sekolah, institusi negara
dan media massa. Begitu halusnya hegemoni yang terjadi hingga masyarakat tak
menyadarinya. Masyarakat akhirnya menjadi pasif dan aktivitasnya hanyalah menyesuaikan
diri dengan keadaan. Sedangkan dalam bentuknya yang kasar masyarakat dibuat
diam dengan paksaan. yang melawan dan melanggar sistem akan ditindak dengan
keras. Biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer begitulah fakta
fenomena yang kerap kali terjadi dilapangan.
Sekarang,
mengapa harus membahas UINSA? Sadar atau tidak sadar ternyata UINSA juga
merupakan salah satu institusi yang mempraktekkan kebudayaan bisu. Kampus yang
seyogianya adalah sebuah institusi pencerahan, wadah transformasi domain
kognitif, afektif dan psikomotorik ternyata telah keluar dari tapal batas
idealismenya. Sekarang kampus telah menjadi sebentuk ruang yang memproduk
mahasiswa-mahasiswa yang terasing; tak mengenali dirinya yang otentik dan
kenyataan diluar dirinya. Kampus tengah dililit dengan kondisi kultural yang
membunuh hasrat kritis dan inovatif mahasiswa. Akhirnya mahasiswa tengah berada
dalam kondisi terdominasi oleh kampus, dijinakkan dan dibuat bisu.
Padahal
kalau kita coba flasback kemasa sialam, dan mencoba melihat
Mahasiswa dalam persepektif overview atau ikhtisar, dimana Mahasiswa telah
menjadi agen of change dan social control yang menyumbangkan
seprauh darah dan nafas untuk negera Indonesia, yang hal ini tertera dalam
empat fase besar dalam tinjauan sejarah Indonesi. Yang pertama pergerakan
nasional (1900-1945, yang kedua periode orde lama (1945-1965), yang ketiga
periode orde baru (1965-1998) dan yang terakhir periode reformasi (1999), tentu
sadar akan kenyataan dan kontribusi Mahasiswa terhadap negara yang bernama indonesia ini.
Kondisi
“pembisuan" mahasiswa oleh kampus bukanlah barang baru. Di tahun 1978
pernah terjadi kemerosotan dalam tubuh mahasiswa. dengan pemberlakuan NKK/BKK,
mahasiswa semakin mendapat kontrol yang ketat oleh pihak birokrasi. Lembaga
kemahasiswaan perlahan-lahan dibabat habis. Ruang gerak mahasiswa terbatasi.
Meskipun era tersebut telah berlalu, namun evolusi barunya kian menghabisi
kondisi kemahasiswaan saat ini. Ada banyak penyebab mahasiswa berada dalam
kondisi kebisuan
Pertama. Mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT)
membuat mahasiswa selalu berpikir instan; berpikir untuk cepat selesai agar UKT
tidak telalu lama membebani orang tua. Maka dari sini kebanyakan mahasiswa
enggan untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat akademiknya compang-camping.
Seperti aktif dalam organisasi kemahasiswaan, demonstrasi, melakukan kritik
sistematis pada kebijakan yang mengekang dst.
Kedua. Bila ada yang melawan dan
melanggar sistem maka skorsing bahkan drop
out adalah konsekuensinya. Ancaman tersebut adalah sebuah sikap birokrasi
kampus memasung mahasiswa. Maka wajar-wajar saja bila kebanyakan mahasiswa yang
akhir-akhir ini mengalami krisis militansi dan memilih diam ketimbang berkoar karena
tak mampu menerima konsekuensi tersebut.
Ketiga. Mahasiswa tak pernah diberi
kesempatan untuk berpetualang mencari ilmu dan mengembangkan potensi kritisnya
lewat kajian-kajian, baca buku dan berorganisasi. Sebab, hari-harinya
disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk serta jadwal kuliah yang
padat. Aktivitas tersebut terus berulang dan berulang setiap harinya, membuat
mahasiswa terbiasa dengan kondisi tersebut. Karena telah terbiasa dengan
kondisi tersebut, membuat mahasiswa hanya menganggap aktivitas sejatinya hanyalah
kuliah dan kerja tugas. Sehingga bila mereka diperhadapkan dengan organisasi,
kajian dan baca buku yang mengembangkan daya kritis, mereka menganggapnya
sebagai sesuatu yang asing dan tidak penting.
Keempat. Di dalam ruang perkuliahan, tak
ada aktivitas pemantik sikap kritis mahasiswa. Dosen yang sekiranya sebagai
subjek yang membantu memberi stimulus bagi mahasiswa agar menjadi aktif dan
kritis dalam bersikap pada realitas namun ternyata tak demikian. Kebanyakan
dosen hanya mengajarkan mata kuliah hanya untuk kebutuhan kerja. sementara
memperkenalkan dengan kritis kepada
mahasiswa kondisi sosial, politik dan budaya serta menghubungkan ketiga aspek
tersebut dengan mata kuliah jarang
dilakukan oleh dosen. Kebanyakan dosen justru menutup ruang aktualisasi diri
mahasiswa dengan mendominasi perkuliahan. Terkadang dosen kakuh dalam proses
pembelajaran. Dosen menjelaskan, mahasiswa bertanya dan dosen menjawab, Bila
ada jawaban lain dari mahasiswa yang berbeda dari jawaban dosen maka selalu
saja salah karena pada dasarnya dosen memegang kuasa pengetahuan dengan
pertimbangan “dosen lebih banyak makan garam ketimbang mahasiswanya”. Dalam
ruang perkuliahan sebenarnya sering dilakukan diskusi namun kesimpulan final
hasil diskusi berada ditangan dosen. Terkadang juga Semua atuaran
perkuliahan baik itu pakaian maupun
jadwal masuk diatur oleh dosen. Bila ada yang protes maka nilai menjadi
korbannya. Mau tak mau mahasiswa harus menerimanya dengan lapang dada.
Kelima. Pengaruh hedonisme dan budaya pop
yang tengah naik daun pada ruang kampus, membuat kebanyakan mahasiswa
terkonstruk oleh pengaruhnya. Akhirnya sekarang mahasiswa lebih membutuhkan
sesuatu yang bersifat modis ketimbang membangkitkan kualitas intelektualnya.
Sekarang mahasiswa lebih gemar ketempat-tempat bernuansa hedonistik ketimbang
ikut serta pada forum diskusi. Sikap tersebut jelas berpengaruh pada kedirian
setiap mahasiswa. Mahasiswa akan terbuai dan larut didalamnya hingga membuat
mereka acuh terhadap hal-hal yang sublim dalam kehidupan kemahasiswaan dan
masyarakat yang sesungguhnya.
Efek dari
Kondisi-kondisi di atas jelas membuat mahasiswa semakin takut, cuek bahkan
semakin patuh terhadap kebijakan kampus walaupun kebijakan tersebut tak
berpihak pada mereka. Seperti halnya saat ini, kampus kian digerogoti oleh
praktek komersialisasi; kampus kekinian tak ubahnya seperti barang
komoditi. Namun beribu-ribu mahasiswa,
hanya segelintir saja yang prihatin sedangkan yang lainnya memilih untuk
bungkam. Begitupun dalam kehidupan sosial, mahasiswa tidak terlalu berperan
lagi dalam mengadvokasi masalah-masalah sosial yang semakin hari semakin
menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan. Mengapa demikian? Karena kondisi-kondisi
tersebut menciptakan kesadaran ilusif dalam nalar mahasiswa. dan mengakarnya
kesadaran ilusif tersebut, sekaligus menjadi bui bagi kesadaran kritis
mahasiswa dan menahannya agar tidak hadir.
Kampus
mengisolasi dan Mahasiswa mengalami kebisuan. Tak lagi memiliki hasrat protes
terhadap realitas kampus dan sosial yang tunggang langgang. Kultur intelektual yang sekiranya menjadi
sebuah counter dalam menghadapi
dominasi kebijakan kampus yang tak konstruktif lambat laun tertampik oleh
dominasi kultur kampus yang mengekang. Kampus telah didominasi oleh budaya yang
memenjara, yang setiap saat siap mengontrol mahasiswa, membuat mahasiswa
menjadi bisu. Kampus kekinian tak ubahnya seperti tabir.
Komentar
Posting Komentar